<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d31930537\x26blogName\x3dDandelion+tersenyum...\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://dandelion-tersenyum.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://dandelion-tersenyum.blogspot.com/\x26vt\x3d-5431719475258655919', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Dandelion tersenyum...

Ingatlah, dunia ini adalah jalan, sebuah jalan tempat manusia melewati siang dan malam; dan hari kemudian adalah tempat tinggal yang abadi. Jangan pergi kesana dengan beban dosa dan kebusukan, dihadapan Yang Mahatahu segalanya tentang mu.Hisablah dirimu sebelum di hisab. ( Imam Ali bin Abi Thalib, Nahjul Balaghah )

 

Bidadari Tak Secantik Senyum mu (Part II)

Setelah berjalan sebulan aku muali yakin bahwa aku jatuh cinta beneran sama Yanti. Kubulatkan tekad untuk menyatakan hatiku padanya. Dengan segenap pengalamanku sebagai “buaya”, kutulis sepucuk surat cinta penuh rayuan gombal yang sampai sekarang masih kami simpan sebagai kenangan. Biasanya kalau aku lagi ngambek, Yanti akan membacakan surat itu keras-keras. Dan tentu saja itu akan mengakhiri mendung di hatiku.

Kukirim surat itu melalui kurir, Udin, seorang ko-as teman SMA-ku. Kupesan agar jawabannya kalau bisa segera. Udin sih oke-oke saja, jajan bakso di Gejayan pasti tidak bisa ditolaknya.


Jantungku berdegup keras ketika Udin meneleponku dan mengatakan Yanti ingin bertemu di bangsal anak satu jam lagi. Degg…satu jam yang sangat lama bagiku. Aku terus berdo’a, “Ya Allah jadikanlah cintaku bersambut cintanya…” ya, kadang-kadang akupun masih ingat Tuhan , terutama disaat-saat tak ada cara lain didalam benakku selain do’a.

Selasar didepan bangsal anak. Peristiwa yang sangat berkesan didalam hatiku. Dengan penampilan yang “meyakinkan”. Baju koko terbaru, dan rambut terpotong rapi, aku melangkah menemui Yanti yang sudah menunggu. Dia masih menggunakan jas praktikum putihnya. Senyumnya sudah mengembang melihat kedatanganku, wah prospek cerah nih !

“Assalamualaikum…sudah baca surat ku khan ?” sapa ku dengan salam. Sesuatu yang amat jarang aku ucapkan.

“Waalaikumsalam. Sudah. Jadi Tyo suka sama saya, cinta sama saya ?” suara lembut seperti seorang ibu yang menghadapi anak nakalnya. “Terus, sekarang Tyo mau apa ?”

“Ya, terus gimana dengan Yanti ? Yanti terima tidak cinta saya ?” Gleg. Lidahku kelu. Padahal biasanya menggombal adalah keahlianku. Namun kali ini aku benar-benar kena batunya!

“Tentu saja Yanti terima cinta Tyo. Terus habis itu gimana ?” masih dengan senyum lembut yang membuatku hampir tak bisa bicara.

“Ya…terus kita jadian. Kau jadi pacarku begitu…” jawabku ragu. Ingin kutelan kalimat yang baru saja meluncur dari mulutku. Mengingat aku tahu karakter orang-orang seperti Yanti yang anti pacaran.

“Wah, kenapa pacaran ? gimana kalau kita nikah saja ?”

Deg, aku hanya berdiri kaku. Menikah ? sebuah tantangan yang baru pertama kali ini ku terima. Hari itu “si buaya” benar-benar KO! Aku tak habis pikir. Selama karirku menjadi “buaya”, tak satupun gadis yang berani menantangku untuk menikah. Apalagi saat di “tembak”.

“Me…menikah ? wah, kalau begitu a…aku pikir-pikir dulu…” pikir-pikir ? sebuah jawaban yang tidak bermutu setelah pernyataan cinta yang menggebu-gebu. Namun, hanya itulah amunisi kata-kata yang kupunyai saat itu. Sementara amunisi lain sudah lenyap karena memang kondisi yang di prediksikan tidak sesuai kenyataan.


Menikah aku harus berani. Tak peduli apa kata orang. Aku sudah jatuh cinta beneran sama Yanti. Masak “buaya” takut di tantang menikah. Tetapi kemudian aku teringat dengan cerita-cerita sumbang tentang pernikahan. Orang yang menikah akan di bebani tanggung jawab. Harus setia. Harus punya pekerjaan. Harus ini. Harus itu. Nanti kalau punya anak kan repot. Perlu biaya besar dan segala macam problema rumah tangga yang kudengar dari mereka yang “berpengalaman” menikah, menghantui pikiranku.

Dan yang jelas setelah menikah aku tidak bebas lagi. Itulah yang terlintas di benakku. Aku mulai ragu. Apalagi sehari setelah peristiwa itu, Kristin mengajak baikan. Aku semakin bingung dan kacau. Disatu sisi jujur kuakui aku sangat takut menikah. Disisi lain aku benar-benar “terobsesi” pada Yanti. I’m trully, madly, deeply, do love her. Pusiinggg…aku mulai takut dan kacau. Kuliah yang tinggal mengulang sering kutinggalkan. Aku lebih sering membaca buku. Di kos, perpus dan bahkan di toko buku. Temanya tentu saja pernikahan. Namun semua buku itu hanya membuatku semakin pening. Ada yan bilang menikah disaat kuliah itu sangat mendukung perkembangan jiwa sesorang. Namun di lain buku ada yang menulis bahwa menikah diusia muda hanya akan membawa perceraian dan ketidakbahagiaan.

Akhirnya kuputuskan untuk berpikir sendiri. Sepekan penuh aku berfikir keras. Bahkan laporan praktikum pun harus menunggu. Kucoba menata satu-persatu masalah dan potensi yang akan kuhadapi dan aku punyai untuk menikah. Masalah ? tentu saja ada, karena aku masih kuliah, orang bilang kalau menikah saat kuliah akan berantakan salah satunya. Ah, itu Cuma kata orang. Yang lain juga bilang kalau menikah di saat kuliah justru akan membuat kita lebih dewasa.

Kurasa masalah lain yang jauh lebih besar adalah bahwa aku belum punya penghasilan. Kata orang kalau menikah, seorang laki-laki harus menafkahi istri dan keluarganya. Wah, bagaimana mau menafkahi sementara aku belum kerja. Tapi kurasa babe-ku tidak keberatan untuk melipatduakan dana kiriman bulanan. Selain beliau cukup berada untuk mensuplai dana buatku, beliau juga pernah berkata bahwa, jika kau menikah dan belum punya pekerjaan beliau akan membantu.

Setelah sekian waktu berpikir keras, aku menyerah. Kurasa otak-ku tak kan mampu mengeksekusi sebuah keputusan untuk menikah atau tidak. Ditengah keputusasaanku aku teringat Udin. Kurasa dia bisa membantuku untuk memecahkan masalah ini. Aku selalu percaya anak-anak SKI dan alumninya mempunyai kebijakan yang bisa diandalkan untuk memecahkan masalah-masalah rumit. Mereka punya intuisi yang menakjubkan untuk menghadapai masalah yang berat sekalipun. Aku meminta pertimbangan pada Udin yang alim ini. Udin hanya terwata. “Shalat Istikharah aja, minta petunjuk sama Tuhan.”

Kuputuskan untuk mengikuti saran Udin. Kuambil air wudhu dengan sempurna dan aku shalat dengan khusyuknya. Kurasa itu adalah shalat yang paling khusyuk sepanjang hidupku. Kupasrahkan segalanya pada-Nya. Jikalau Yanti yang terbaik untukku maka kuatkanlah tekadku untuk menikah dengannya. Jikalau bukan maka, biarkanlah kami menjadi sahabat yang sejati. Sebuah do’a yang tak pernah keluar dari dalam hatiku sebelumnya. Namun kini do’a ini amat kusyukuri. Mungkin ini salah satu do’a terbaik sepanjang hidupku.


(bersambung lagiiii....)

 

for this post

Leave a Reply